![]() |
KH. Hasyim Asy'ari dan Masyarakat Pedesaan (dipotret ulang dari lukisan Haitamy El Jaid) |
Warga Nahdlatul Ulama semestinya mengetahui tentang Qanun Asasi. Ini merupakan pokok pikiran dan pedoman dasar organisasi. Qanun Asasi awalnya adalah taushiyah yang disampaikan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang bertajuk Mukadimah Qanun Asasi. Taushiyah ini kemudian disalin menjadi Statuten (Anggaran Dasar) ketika NU didirikan secara resmi pada 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan.
Mukadimah Qanun Asasi memiliki posisi yang strategis sebagaimana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Mukadimah ini merupakan semangat awal gerakan NU yang menjiwai seluruh perjalanannya sebagai jamaah nahdliyin.
Mukadimah ini disertai kutipan ayat al-Qur’an, hadits Nabi, serta ungkapan dari sahabat Nabi dan para ulama, antara lain menyebutkan tentang pentingnya berkumpul dan bermasyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. “… persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seia-sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.” Pada bagian lain Kiai Hasyim Asy’ari mengungkapkan orang yang tidak suka bersatu itu seperti “… kambing-kambing yang berpencaran di padang terbuka. Berbagai binatang buas telah mengepungnya…”.
Melalui mukadimah ini Kiai Hasyim Asy’ari mengajak masyarakat untuk bergabung ke dalam organisasi NU. “Marilah Anda semua dan segenap pengikut Anda dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat, berbondong-bondonglah masuk jam’iyah yang diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu, dan dengan ikatan jiwa raga.”
“Ini adalah jam’iyah yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. Ia manis terasa di mulut orang-orang yang baik dan bengkal (jiwa kolot) di tenggorokan orang-orang yang tidak baik. Dalam hal ini hendaklah Anda sekalian saling mengingatkan dengan kerja sama yang baik, dengan petunjuk yang memuaskan dan ajakan memikat serta hujjah yang tak terbantah.”
Mukadimah ini ditulis dalam bahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KH. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus menjelang Muktamar NU ke-27 di Situbondo (1984). Versi terjemahan inilah yang banyak dikutip oleh berbagai kalangan. (Sumber: Ensiklopedia Nahdlatul Ulama).