![]() |
Hadratus Syaikh Hasyim Asya'ari |
Pendiri Nahdlatul Ulama; memberikan ruh bagi Khittah perjuangannya sehingga Nahdlatul Ulama menjadi organisasi pengembang Islam Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia. Rais Akbar yang melekat pada dirinya bukan sekadar jabatan formal organisatoris, melainkan pengakuan atas sosoknya yang tak dipungkiri menjadi sumbu jaringan ulama Nusantara pada abad 20, yang mampu menggerakkan kesadaran nasional, dan berkontribusi besar dalam berdirinya Republik Indonesia.
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan pada Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 atau 14 Februari l871, di Desa Gedang, Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari berasal dari Demak, dan ibunya Halimah adalah putri Kiai Utsman, pengasuh Pesantren Gedang. Dari garis ibu, silsilah keluarganya sampai pada Brawijaya VI, dan dari silsilah pihak ayah bertemu dengan Joko Tingkir.
Pada 1876 M, ketika berusia 6 tahun, Mbah Hasyim bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras sekitar 8 kilometer selatan Kota Jombang. Di desa ini, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang kepala desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Mbah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Mbah Hasyim juga menyaksikan langsung cara Kiai Asy’ari mendidik santri. Mbah Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan.
Pada usia 15 tahun, Mbah Hasyim mulai memperdalam ilmu pengetahuan di beberapa pesantren. Mula-mula menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis Surabaya, lalu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan KH. Kholil. Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Mbah Hasyim belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan Kiai Ya’qub.
Mukim dan Berguru di Makkah
Pada usia 21 tahun, Mbah Hasyim Asy’ari menikah dengan putri Kiai Ya’qub bernama Khadijah. Beberapa hari setelah pernikahannya, kedua mempelai itu bersama mertuanya berangkat ibadah haji ke Makkah, dan kemudian bermukim di sana. Pada bulan ke tujuh istrinya melahirkan bayi bernama Abdullah. Namun, bayi dan ibunya meninggal dunia. Setelah musibah itu, Mbah Hasyim pulang ke tanah air, namun kemudian kembali ke Makkah bersama saudaranya Anis, dan bermukim di sana.
Selama di Makkah, beliau berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syaikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh Mahfudzh at-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syaikh Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim ad-Daghistani, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi as-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Pada saat tinggal di Makkah ini, Mbah Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Di antaranya Syaikh Sa’dullah al-Maimani (Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadits di Mekah), As-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Kembali ke Tanah Air dan Merintis Pesantren Tebuireng
Setelah tujuh tahun di Makkah, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia (1899). Pada saat itulah Mbah Hasyim merintis sebuah pesantren. Mbah Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Desa Tebuireng, 200 meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (teratak) sebagai tempat tinggal.
Dari bangunan kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Mbah Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah. Sedangkan, bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Namun, seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Pada 1916, KH. Ma’shum Ali—salah seorang menantu Kiai Hasyim—mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Pesantren Tebuireng diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Ribuan santri menyerap ilmu di Tebuireng. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.
Gagasan Muhammad Abduh
Menjelang abad 20, dunia Islam mulai bangkit melawan kolonialisme. Salah satu gagasan yang mendobrak adalah Muhammad Abduh di Mesir. Gagasan reformasi Islam yang dianjurkan itu juga menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Makkah. Termasuk Mbah Hasyim tentu saja. Pertama, Abduh mengajak umat Islam untuk memurnikan Islam dari pengaruh dan praktik keagamaan yang bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan; ketiga, merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan kepada madzhab dan meninggalkan tarekat.
Syaikh Ahmad Khatib guru Kiai Hasyim, mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Namun, tidak demikian dengan Mbah Hasyim. Beliau menerima ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar umat Islam melepaskan dari madzhab. Tidak mungkin memahami maksud al-Qur’an dan Hadits tanpa mempelajari pendapat ulama madzhab. Dalam hal tarekat, Mbah Hasyim tidak menganggap bahwa semua tarekat salah, hanya beliau berpesan agar umat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan
Di tanah air, pengaruh reformisme Islam telah membangkitkan beberapa kelompok mendirikan organisasi. Sarekat Islam, Jami’yat al-Khairat, dan Muhammadiyah di antaranya. Sementara kalangan pesantren juga mulai bergerak di Surabaya, dengan munculnya kelompok-kelompok studi dan gerakan pendidikan, Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Hasbullah salah satu penggeraknya. Kiai Wahab juga pernah menggagas organisasi ulama pesantren (1924), dan ketika diajukan kepada gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, gagasan membentuk organisasi itu dianggap belum perlu.
Gagasan itu baru memperoleh momentumnya ketika terjadi peralihan kekuasaan di Arab Saudi, dengan kemenangan Ibnu Sa’ud yang menggandeng tokoh gerakan Wahabi (1925). Kebijakan baru Raja yang akan menghapus pengajaran dan praktik madzhab di Makkah serta pemusnahan situs-situs bersejarah, seperti makam Rasulullah, membuat ulama-ulama pesantren Indonesia bersatu. Maka, atas restu Kiai Hasyim, kiai-kiai yang berkumpul di Surabaya membentuk “Komite Hijaz” dan sekaligus organisasi bernama Nahdlatul Ulama, pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926. Kiai Hasyim Asy’ari menjadi Rais Akbar, yang menuntun khittah organisasi itu.
Qanun Asasi Nahdlatul Ulama
Dalam hal madzhab, Kiai Hasyim Asy’ari memandang sebagai masalah prinsip dan ini menjadi salah satu ruh yang penting dalam Nahdlatul Ulama. Pada Muktamar ke-3 NU, Kiai Hasyim menegaskan kembali prinsip itu dalam makalah yang kemudian menjadi “Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama”, Kiai Hasyim ingin menegaskan bahwa segala tindakan haruslah mempunyai pijakan keagamaan yang benar secara metodologis, dan dengan demikian akan benar secara substantif. Pola bermadzhab ini yang menjadikan Nahdlatul Ulama justru berwatak inklusif, dalam prinsip tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Dengan prinsip-prinsip tersebut Nahdlatul Ulama tidak gagap dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial, budaya, dan politik di Indonesia.
Tak hanya membimbing dalam konsepsi, KH. Hasyim Asy’ari juga memberi teladan bersikap dalam perubahan zaman. Pada masa kolonialisme Belanda, Kiai Hasyim menolak berkolaborasi, bahkan untuk menerima tanda penghargaan sekalipun. Namun, pada masa pendudukan Jepang, Kiai Hasyim bersedia bekerja sama secara taktis demi kemerdekaan Indonesia. Kiai Hasyim, misalnya, bersama Sukarno bersedia duduk dalam Jawa Hokokai (untuk mobilisasi kekuatan Jawa), dan menjadi Ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama). Ketika Jepang akhirnya membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Kiai Hasyim menyetujui masuknya beberapa wakil NU dalam badan tersebut. Badan itu kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menyusun Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Resolusi Jihad
Pada 17 Agustus 1945, Sukarno–Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tahun-tahun 1945–1949 adalah masa paling kritis dalam revoluasi Indonesia. Upaya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negeri jajahan terus dilakukan. Upaya diplomasi dan perlawanan bersenjata terus dilakukan. Kiai Hasyim bersama ulama-ulama pada 21 Oktober 1945 mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad”, yang menggerakan umat Islam bersatu melawan upaya Belanda dan sekutunya. Kiai dan santri bersatu padu dalam barisan Hizbullah, Sabilillah, maupun Barisan Kiai yang bersama-sama kekuatan kelompok nasionalis lain bertempur di Surabaya, Semarang, dan daerah-daerah lain. Bung Tomo dan Sudirman, pemimpin-pemimpin perlawanan bersenjata, sering menemui KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng untuk meminta nasihat dan dukungan.
Di tengah-tengah perlawanan terhadap agresi Belanda yang terjadi di mana-mana, Kiai Hasyim Asy’ari jatuh sakit. Ketika itu, datang utusan Bung Tomo dan Sudirman yang melaporkan perkembangan terakhir, bahwa Belanda berhasil memasuki Singosari, Malang. Saat itu, bulan Ramadhan. Kiai Hasyim masih memberikan pengajian pada kaum muslimat di Pesantren Tebuireng. Mendengar berita itu, pengajian pun dihentikan. Beliau kemudian masuk rumah dan jatuh pingsan, lalu tak sadarkan diri. Namun, tak henti-hentinya beliau berseru, “Masya Allah, Masya Allah….” Dokter yang didatangkan dari rumah sakit Jombang pun hanya pasrah, karena ternyata ulama besar itu telah menghembuskan napas terakhir. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari wafat pada 7 Ramadhan 1366/25 Juli 1947.
Warisan yang Luar Biasa
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari telah meninggalkan warisan yang luar biasa besar bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama saat ini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Jaringan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah terus mempererat persatuan, mengisi Indonesia dengan Islam yang menebar rahmat.
Generasi muda saat ini pun masih tetap bisa mengkaji pemikiran KH. Hasyim Asy’ari melalui warisan karya-karya tulisnya dalam beberapa kitab, antara lain At-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah, Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah, Ad-Durrah al Muntasyiroh fi Masail Tis’a ‘Asyarah, Ar-Risalah fi al-’Aqaid. Ar-Risalah fi at-Tasawwuf. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih.
Selain kitab-kitab tersebut, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan.